#StopUnionBusting

revo.jpg

Tentu ada hal aneh ketika sarjana2 alumni ITS, ITB, ITTelkom, UI,  UnDip, dll yang kerja di PT. Huawei berdemonstrasi. Tuntutan sangatlah normatif, merujuk Peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.

 

  • Mempermanenkan pekerja yang berdasarkan masa kerja sudah harus dipermanenkan (UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003: Pasal 58-59).
  • Mentransfer kontrak pekerja kepada PT. Huawei dari perusahaan-perusahaan outsourcing sesuai Peraturan Menteri No.19 tahun 2012.
  • Menghapuskan sistem kerja outsourcing di PT. Huawei Tech Investment sesuai Peraturan Menteri No.19 tahun 2012.
  • Pembatasan jumlah serta penertiban Tenaga Kerja Asing yang harus disesuaikan UU yang berlaku tentang IMTA, KITAS, JABATAN dan standar kompetensi. (UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003: Pasal 42-Pasal 46; Peraturan Menteri No.40 Tahun 2012).
  • Merundingkan Perjanjian Kerja Bersama antara serikat pekerja (SEHATI) dengan perusahaan. (UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003: Pasal 116 – 135; Peraturan Menteri No.16 Tahun 2011: Pasal 12 – 30).

 

Semua tuntutan tersebut digaungkan pada aksi mogok tgl 29-30 November 2012 di seluruh kantor cabang, di Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, Bali, dll.

Pada tanggal 30 November 2012 tercapailah Perjanjian Bersama antara serikat pekerja (SEHATI) dan perusahaan atas tuntutan-tuntutan tersebut. Namun pada perjalanannya hingga Februari 2013 Perjanjian Bersama tersebut tak kunjung dilaksanakan oleh perusahaan.

Bahkan satu persatu pengurus serikat pekerja dan aktivis serikat pekerja (sehati) di-PHK di berbagai daerah: Surabaya, Bandung, Semarang, dll. Hingga akhir Februari 2013 sudah ada 25 pengurus dan aktivis di PHK, bahkan ada juga kriminalisasi terhadap Ketua Umum Sehati.

Awal Maret, Serikat Pekerja (Sehati) melakukan aksi mogok atas tidak dilaksanakannya Perjanjian Bersama yang sudah diaktakan di PHI. Aksi mogok tersebut justru dibalas dengan surat peringatan terhadap 55 aktivis. Pertengahan Maret 2013, Sehati mengadu ke Komisi IX DPR-RI.

Terkait dugaan penyalahgunaan penggunaan TKA (Tenaga Kerja Asing), SEHATI juga sudah menyampaikan laporan ke KPK perihal bukti email penyuapan dari PT. Huawei kepada Imigrasi.

Akhir April, Sehati melengkapi dokumen pengaduan ke Komisi IX DPR RI dan juga melaporkan Union Busting ke Polda Metro Jaya. Mediasi di Dinas Tenaga Kerja Surabaya & Semarang dengan PT. Huawei untuk kasus PHK pengurus & aktivis Serikat Pekerja (Sehati) sudah dilakukan.

Setelah mediasi dilakukan, terbitlah anjuran dari Disnaker Surabaya & Semarang untuk  kembali mempekerjakan para pengurus & aktivis Serikat Pekerja SEHATI. Namun hingga lewat 10 hari kerja setelah anjuran Disnaker, PT. Huawei tak juga mempekerjakan kembali para pengurus & aktivis Serikat Pekerja SEHATI.

Hak-hak normatif pekerja sesuai peraturan per-UU-an yang berlaku harus dikedepankan.

Ketika hak-hak normatif pekerja tidak dilaksanakan,maka nasib pekerja tidak menentu.

 Saat nasib pekerja tak menentu, maka pengaduan ke instansi terkait harus dilakukan.

Jika pengaduan-pengaduan tidak ditindaklanjuti, hal itu menjadi bukti lemahnya fungsi pengawasan.

Ketika fungsi pengawasan tidak berjalan, maka peraturan perUUan telah dikangkangi pengusaha.

Kita tahu bahwa peraturan perUUan ketenagakerjaan negara ini cukup akomodatif untuk pekerja. Permasalahannya adalah ego pengusaha diperkuat oleh lemahnya pengawasan instansi pmrintah.

Sudah sepatutnya kerja pengawasan dari instansi pemerintah terus ditingkatkan. Minimnya jumlah pengawas bukanlah alasan, padahal jika mereka proaktif maka akan banyak problem terselesaikan. Inilah yang menjadi akar persoalan, pelaksanaan perUUan tidak sejalan dengan kinerja pengawasan.

Perundingan sana-sini menjadi nihilistik ketika pengawas diam saja & menumpuk permasalahan.

Saat ego pengusaha jadi pemenang & kinerja pengawas nihil, apakah pekerja hanya bisa mengadu ke Tuhan?

 

LAWAN… LAWAN… LAWAN…!!!

 

Salam SEHATI